Ayahku Pun Cemas | 06.37 |
Filed under:
|
Pagi dibawah mendung.Waktu seakan tak lari, kegelapan seperti menyelimuti bumi.Jam dinding berdetak delapan kali. Lelah tubuh belum jua usai, sejak semalam begadang hingga shalat subuh. Perlahan pintu berdesis dan langkah kaki pelan mengarah ke jendela kamar. Aku bisa merasakan gerakan ayahku .
“ Apa kamu tidak takut di cari polisi, “ suaranya serak.
Alam bawah sadarku menghentak bangun. Kami saling pandang dalam tatapan kasih. AKu tahu maksud ayahku. Ketika aku mulai memilih jalur perlawanan , suatu ketika pernyataan itu akan terlontar jua. Hari ini adalah tepatnya dan itu dari ayahku. Tangan kanannya menyerahkan koran.
Perlahan kubaca halaman Nuansa Harian Fajar. Meski aku tahu isinya, sebab semalam aku jua menyalinnya dan merilis ke Harian Tribun dan harian fajar . Gara-gara kasus kriminalisasi pers yang makin memanas, tidur pun mulai berkurang, bahkan begadang sampai shalat subuh usai.
“ Dunia wartawan itu penuh dinamika , nyawa bahkan jadi taruhannya.Itu saya menjalani selama delapan tahun. Hari ini jika tuhan mengariskan takdirnya, saya harus menjalani masa sulit itu. Jalan itu harus kutempu AYAH, “ kataku pada ayah. Tarikan nafasnya terdengar berat.
“ Takdir tak bisa ditolak, cobalah menghindari sesuatu yang menyakitimu, Nak” Kata Ayah dan berlalu.
Aku diam . Mengerti maksudnya. Bisik hatiku menegaskan tak akan tunduk pada pintanya. Aku paham kecemasannya. Sebab kedua orang tuaku kerap kali menanyakan perkembangan kasus dalam diskusi kami. Mereka sering memantau perkembangan sengketa pers antara kapolda dengan wartawan. Ayah juga tau kenapa Upi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran. Tanpa ku tanya itulah jawaban kecemasannya. Baginya ada dua alasan penting.
Pertama melihatku menata fase kedua tahun depan. Keluargaku sudah mulai membincangkan dalam setiap even keluarga. Entah mengapa, aku tak bergeming bahkan beku. Ada kisah yang tak tuntas meski nisan dan sejarah diri seseorang telah ku kubur.
Ayahku selalu bangga pada putri keduanya yakni Aku. Setiap kali namaku di sebut presenter ANTV dalam pemberitaan, ayah sering mengabarkannya padaku dengan rasa bangga. Sebab nama ku di ANTV singkat ANA RUSLI.. Rusli adalah ayahku yang bernama lengkap Rusli Halim. Untuk level saat ini aku diantara empat anaknya bernilai guna. Sakin bangganya dia kerap menyanjungku di kawan-kawan se usianya dan juga keluarga besar kami. Karena aku sangat menjaga pencitraan dan rasa bangga itu.
Alasan kedua, ayah ku ingin cita-citaku terwujud. Melanjutkan studi untuk menopang karir. Bila Ilahi Rabbi mengizinkan, tahun depan akan melanjutkan study di suatu tempat. Jika aku berjodoh dengan impianku..aku akan melanjutkan ke Jepang study animasi, bisa jadi ke Iran ktemu dengan Ahmadineja .Mungkin juga ke Amerika ikut JEFFERSON FELLOWSHIP PROGRAM….(AMIN) …
Namun semua bisa renggut. Dalam ketidak pastian perseteruan antara Kapolda Sulselbar Irjen Pol Sisno Adiwinoto dengan Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers kordinator, situasi makin memanas. Sisno makin hari makin berulah. Senin lalu, empat wartawan yakni Muchlis, Herwin Bahar keduanya dari fakar group dan A. Amriani dan Ichsan dari harian seputar Indonesia. Mereka di panggil sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang di laporkan Sisno . Beruntung mereka menolak datang pada hari Jumat sesuai dengan jadwal surat.
Hampir enam bulan kami menjalani hari dan melawan polisi berbintang dua itu. Dan semakin hari tegangan perseteruan ini makin tinggi. Sisno nampaknya tak lelah mengejar jurnalis. Bahkan dengan mudanya dia memecah belah komunitas wartawan. Ini bisa di ukur dari makin menyusutnya dukungan terhadap koalisi jurnalis tolak kriminalisasi pers. Saat genderang perang perseteruan di tabu, sebanyak 243 tanda tangan jurnalis menyatakan menentang sisno atas pernyataan di berbagai media untuk mempidanakan wartawan. Sering waktu berjalan dan kami melawan, menyusut pula dukungan, hingga tersisa bilangan jari saja.. satu..dua.. tiga.. eh.. sembilan orang yakni Upi Asmaradana Eks Metro, Asrul Global TV kini Sun TV, Iwan Taruna SCTV, Aryo Wisata Kompas, A. Aisyah Bisnis Indonesia, Humaerah 68 H, Taufik lau Metro,silahuddin Genda fajar dan AKu bernama Ana Rusli. Kami prajurit tersisa yang kerap menghabiskan malam dengan bergerilya..Beruntung kami mendapat support dari dua pimpinan media yakni Harian Fajar Sufriansyah Sultan Latief dan Tribun Timur Dahlan, Syarief Amir dan Hera..… Sebab sebagian besar dari kawan-kawan jurnalis memilih melacur dengan polisi setelah copi moning di gelar di Phoenam dan Hotel Clarion Tiap Senin.
Uh..ps… Aku Harus Tegar… “ kubaca lagi Harin fajar, kali ini menelaah kata demi kata berharap para nows room di Fajar tidak mengkopi pasta saja. Nampaknya tak ada yang berubah, termasuk ketololan yang ku buat dalam kutipan pernyataan Rahmad Zena sekretaria AJI yakni “ JIka pejabat public sudah empati pada kritik, maka tidak layak jadi panutan” .. Kata-kata empati harusnya di tambah tidak sehingga mengandung makna tidak peduli….
Ah.. itu bukan substansi masalah, kami bermain kata di media. Tapi impeq permainan kata akan mungkin saja akan mengiring kami mengikuti jejak upi. Tersangka kasus pencemaran nama baik. Ah.. sudah lah ini pilihan, Sudah takdir kami menjadi wartawan yang selalu mengkritik dan mengoreksi menyangkut kepentingan orang banyak. Demikian juga garis perlawanan kami memperjuangakn khittah UU pers
Sabtu, Tiga belas Des Dua ribu delapan
Pukul 10.23 Wita
0 komentar:
Posting Komentar